Pengalamanku : Momen yang kulewati sebagai seorang LGBT
(Bagian 2)
Sejak
kecil saya sudah agak mirip wanita. Ketika berusia kecil, saya suka bergaul
dengan anak perempuan, sebaliknya melihat anak laki-laki berkumpul dan bermain
bersama, saya malah malas mengikutinya, makanya sering diejek mereka, bahkan
mereka sering memberiku banyak julukan, antara lain : “Nona imitasi, gadis
ecek-ecek” dan lain sebagainya.
Ketika
duduk di bangku sekolah menengah, saya mulai suka memperhatikan pelajar pria,
itupun terjadi tanpa saya sadari, yakni suka melihat pelajar pria yang sehat
dan tampan, terhadap pelajar putri malah tidak berminat meliriknya. Saat itu
saya juga tidak tahu apa alasannya.
Saya
paling tidak suka dengan pelajaran olahraga, padahal pelajar pria pada umumnya
suka pada pelajaran senam, tetapi saya paling takut sama kegiatan begini. Sementara
saya justru suka mengikuti kegiatan senam di luar sekolah yang tujuannya untuk
memperindah lekuk tubuh.
Sedangkan
kegiatan olahraga di sekolah, saya justru membencinya, saya takut ditertawakan
teman-teman sekolah, takut mereka bergunjing di belakangku, dan sebagainya.
Kondisi
begini terus berlanjut sampai saya kuliah di tingkat 2, oleh karena untuk
seterusnya takkan ada lagi mata pelajaran olahraga. Dan sepanjang sejarah
kehidupanku, nilai mata kuliah olahraga merupakan yang paling rendah dari semua
mata kuliah lainnya, gara-gara satu mata kuliah olahraga yang menyumbang nilai
minus, sehingga merendahkan indeks prestasi rata-rata yang kucapai, menggagalkan
usahaku meraih beasiswa.
Sejak
usia kecil hingga dewasa, penderitaan yang kualami, orang normal takkan
memahaminya, namun dibandingkan dengan siksaan di kemudian hari, maka deraan
ini belumlah seberapa.
Sampai
menjalani perkuliahan, barulah saya mulai mengenal istilah Gay, saat itu batinku
begitu tersiksa, jangan sampai orang lain tahu statusku ini, saya mencari
banyak buku-buku yang berhubungan dengan topik LGBT, saat itu hidupku begitu
tertekan, ditambah lagi hobiku nonton video dewasa.
Dalam
pergaulan di kampus inilah saya mulai menggeluti hobi buruk yang hampir saja
merenggut nyawaku, sialnya lagi setelah tamat kuliah dan mulai berkarir, malah mengundang
derita yang tak berujung.
Pihak
perusahaan menempatkan saya dan salah seorang rekan kerjaku di bagian yang sama
dan tinggal dalam satu asrama. Baik makan, tinggal, berangkat dan pulang kerja,
adalah bersama-sama.
Saat
permulaan kami tidak memiliki perasaan apa-apa, namun seiring berjalannya
waktu, lama kelamaan benih cinta mulai bersemi. Saya menyadari saya mulai
menyukainya. Gayanya waktu menendang bola itu, amatlah kusukai. Dia suka
mendengar lagu penyanyi Wubai, saya juga menyukainya. Pokoknya segala yang ada
pada dirinya, saya juga amat menyukainya.
Namun
saya tidak berani mengungkapkan perasaanku padanya, hanya bisa memendamnya di
dalam benakku. Lambat laun, dia juga mulai mengetahui orientasiku, tetapi dia
juga tidak sudi berterus terang padaku. Akhirnya kami berdua harus menjalani
penderitaan didera gejolak perasaan namun tidak berani mengungkapkan-nya
keluar.
Bayangkan,
setiap hari harus bekerjasama selama 8 jam di kantor, hal ini sungguh membuat
orang jadi sengsara. Akhirnya suatu hari ketika kami lagi minum-minum bersama,
dengan meminjam kekuatan jurus mabuk, kuberanikan diri untuk mengungkapkan isi
hatiku padanya.
Setelah
mendengarnya, dia merasa sangat iba padaku, juga merasa sangat tidak nyaman,
tetapi juga tidak tahu bagaimana seharusnya. Setiap hari dia memberiku nasehat,
menghibur diriku, katanya mungkin suatu hari nanti akan muncul seorang gadis idamanku,
maka segala sesuatu yang terjadi sebelumnya akan mencair dan sirna.
Juga
mengatakan bahwa andaikata masih juga belum berubah, juga bukan masalah, terhadap
orang seperti diriku ini, sikap masyarakat juga sudah mulai melunak, walaupun
kelak tidak menikah juga tidak masalah.
Sikapnya
padaku tetap seperti sedia kala, sama sekali tidak berubah, bukan karena
setelah saya berterus terang maka dia akan menjauhiku, kami masih tetap seperti
waktu sebelumnya, menyanyi karaoke bersama-sama, menendang bola, mendengar
konser, kami masih sering berdiskusi seperti biasanya.
Kemudian
dia menyadari bahwa bila sikapnya ini diteruskan, saya dan dia akan kian hanyut
dalam perasaan yang makin mendalam, masalah akan kian rumit dan sulit
diselesaikan, padahal dia menganggapku hanyalah sahabat dan rekan kerjanya,
lain halnya dengan diriku yang menganggapnya sebagai pujaan hati dan kekasihku.
Dia
mulai menjaga jarak denganku, beberapa lama kemudian, dia mulai menjalin hubungan
asmara dengan seorang gadis. Setelah saya mendengar hal ini, hatiku begitu
sedih, meskipun saya tahu dengan jelas, bahwa saya dan dia mustahil bisa
bersama, saya juga berharap dia dapat menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Namun
saya tetap tidak bisa melupakannya dan masih juga didera kesengsaraan. Sejak
itu barulah kutahu apa yang disebut dengan patah hati, sebelumnya saya belum
pernah merasakannya, tetapi sekarang rasanya hatiku seolah-olah ditusuk
duri-duri yang tajam, begitu pedihnya.
Kemudian
saya mengajukan pada pimpinan perusahaan agar saya dipindahkan ke bagian
lainnya, dengan demikian tidak perlu setiap hari berhadapan dengannya. Saat itu
kondisi kesehatanku juga sudah mulai menurun, setiap malam tidak bisa tidur
pulas, saat itu saya juga terpikir ingin mengakhiri hidupku, namun ketika
teringat akan ayahbunda yang kian menua, saya jadi tidak tega melangkah lebih
jauh lagi, bila saya mati begitu saja, ayahbunda pasti akan begitu pilu
hatinya.
Akhirnya
saya memutuskan mengambil cuti sakit selama 3 bulan dan pulang ke rumah.
Hari-hari yang kulewati di rumah juga begitu menyengsarakan, oleh karena saya
tidak bisa berkata sejujurnya pada ayahbundaku sendiri, ganjalan hati ini harus
kupikul sendirian, tiada orang yang bisa diajak berbagi.
Kemudian
kondisi penyakitku kian memburuk hingga selama 4 hari 4 malam tidak bisa terlelap,
televisi juga tidak sanggup ditonton lagi, bukan lagi melewati sehari bagaikan
setahun lamanya, tapi melewati sedetik bagaikan setahun rasanya, benar-benar seperti
peribahasa “Hidup segan mati tak mau”. (Buah akibat dari perbuatan asusila
adalah jatuh ke Neraka).
Setiap
hari seperti orang bengong, bahkan sampai diantar ke rumah sakit jiwa dan
diperiksa di sana, saya juga tahu. Dokter bilang saya tinggal selangkah lagi
menuju Penyakit Depresi, cuma tinggal selangkah lagi, seluruh kesadaranku akan
roboh, saya juga tahu, namun malangnya saya tidak sanggup mengendalikan diriku,
bukannya anda mau maka langsung bisa mengendalikan-nya.
Setelah
satu kurun waktu berlalu, kesehatanku sudah agak pulih, melihat pancaran
sepasang mata ayahbunda yang setiap hari mengkhawatirkan diriku, saya tidak
boleh menganggur lagi di rumah, akhirnya setelah istirahat 3 bulan lamanya,
saya kembali ke perusahaan tempatku bekerja, pimpinan mengatur saya bekerja di
lantai atas dan dia bekerja di lantai bawah, kalau dikatakan setiap hari tidak
bertemu sama sekali adalah mustahil.
Kondisi
kesehatanku dia juga sudah mengetahuinya, tetapi dia juga tidak tahu bagaimana
agar saya bisa sembuh. Selama ini dia tidak pernah mengajak teman wanitanya
bertemu denganku, sesungguhnya hal ini mana mungkin bisa dihindari.
Dia
sangat menjaga perasaanku, bila kebetulan berpapasan dengan dirinya dan
kekasihnya sedang berduaan, mereka juga takkan menampilkan kemesraan di
hadapanku (padahal waktu mereka sedang menjalin kasih).
Apabila
saya dan kekasihnya mengajaknya keluar pada hari yang sama, maka dia tetap
mendahulukan bertemu denganku, setelah itu barulah menemani kekasihnya. Mungkin
waktu itu semangatku sangat menurun, dia juga takut saya mengambil jalan
pintas.
Bukan
dia saja, bahkan pimpinan, rekan-rekan kerjaku juga mengira apa yang terjadi
dengan diriku sehingga dalam sekejab pancaran mataku jadi redup, tubuhku kurus,
wajahpun jadi gelap, namun apa daya, saya tetap memilih menyimpan rahasia ini
di lubuk hatiku, tidak boleh mengatakannya kepada siapapun.
Kemudian
saya tahu bahwa kondisiku begini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, dua
bulan kemudian saya mengundurkan diri dari pekerjaanku, saya memutuskan untuk
meninggalkan dirinya.
Waktu
itu adalah tahun 2000, saat saya meninggalkan dirinya. Saya mulai berselancar
di dunia maya, lalu berkenalan dengan beberapa teman chatting, barulah saya
masuk ke dalam lingkungan teman-teman yang senasib. Barulah saya menemukan
ternyata orang-orang yang serupa dengan diriku, yang hidup dalam kegelapan,
jumlahnya banyak sekali.
Kemudian
saya juga menemukan ternyata di dalam lingkungan LGBT, mereka juga saling
membohongi, tujuan mereka hanyalah untuk mengejar kesenangan sesaat.
Sesungguhnya mereka ini juga tidak boleh disalahkan, oleh karena tekanan hidup
yang mereka rasakan adalah lebih berat daripada orang normal, menjalani
kehidupan dengan penuh kesengsaraan.
Untunglah
akhirnya saya bertemu dengan seorang kalyanamitra sejati, setelah memahami
keadaanku, beliau menyarankan agar saya belajar Buddha Dharma, katanya setelah
belajar Ajaran Buddha, bukan saja masalah LGBT yang bisa terselesaikan, bahkan
masalah-masalah lainnya juga akan ikut terselesaikan.
Tak
terasa 6 tahun telah berlalu, melalui ketekunan diri sendiri belajar Buddha
Dharma, sejauh ini saya sudah berhasil meredam tabiat asusila-ku. Yang
membuatku bahagia adalah kini penampilanku sudah seperti sedia kala, baik tubuh
maupun kesehatanku telah pulih, suaraku juga telah berubah, kini diriku adalah
pria sejati.
Saya
memiliki seorang teman wanita yang cantik dan baik, ketika berjalan keluar juga
takkan memperhatikan pria tampan lagi, masih banyak manfaat-manfaat lainnya
yang tidak bisa dijelaskan satu persatu, seperti kata pepatah : “Ibarat orang
yang minum air, kesejukan itu hanya bisa dirasakan-nya sendiri”.
Saya
telah berhasil melewati semua rintangan tersebut dan kini melalui kehidupan
orang normal, keyakinanku terhadap Buddha Dharma, kian hari kian mendalam.
我从小就有点女性化。小时候,我就常常喜欢和女孩子玩,男孩子的游戏什么弹弹子等等我是不参加的,经常受到男孩子的欺负,他们给我取了很多外号:'假姑娘,假女女'等等。可能是在初中的时候,开始关注男孩子的,那时是无意识的,就是喜欢健康的帅气的男性,对女孩子关注的程度少,当时也不知道是怎么回事(先天的)。自己体质也不好,最害怕上体育课,一般的男孩子最喜欢上体育课,可我是最怕的。下面我也背着人偷偷练,我也参加一些额外的包括健美等体育训练班,可对于一些动作就是做不了,比如引体向上之类的(业因果报啊),我怕上体育课。怕大家笑话我,怕大家背后指指点点,乱起哄。这种情况一直持续到大学二年纪,因为从此以后再没有体育这个课程了,体育课的成绩是大学里所有成绩最低的,就因为他拉分,好多次评不上奖学金。从童年一直到长大,这些痛苦不是常人能理解的,可比起后来的痛苦,这点苦难并不算什么。
到了大学里,才接触同性恋这个词语,当时紧张痛苦,不能让别人知道,我就找了很多这方面的书看,当时很压抑,再加上接触黄色的东西,大学里染上收命这个恶习,做为一种发泄手段。大学毕业后,参加了工作,后来在工作中我迎来了更大的痛苦。
我和一个男同事是一起分配到单位里,我们是在一个科室工作,分在同一间宿舍。吃住上下班基本都在一起。开始我们只是做为简单的同事相处,可是随着友谊的加深。我发现我喜欢上他了。他踢足球我喜欢。他听伍佰的歌我也喜欢,我喜欢他的一切。他也慢慢发现我的这种倾向了,但我们谁都没开口说破,那种单恋的痛苦,和天天在一个办公桌面对面坐着要8个小时,的确是非常折磨人。有一天借着喝醉酒酒精的力量,我跟他说了。他听完后很同情我也很难受,可也不知道怎么办才好,他也天天开导我,说万一那天说不定一个我心仪的女孩子出现我面前一切都会变化的,还说即使没有改变也没关系啊,像我这种生活社会越来越宽容了,就是将来不结婚也可以的。他对我仍旧一如即往的好,没有因为我的坦白我远离我,对我都是随叫随到,我们一起唱卡拉OK,踢球,一起听音乐会,我想干什么,或者他有什么想法都会告诉我。后来他发现这样下去我和他会越陷越深,问题越来越难办,他把我当兄弟,当朋友,我把他当恋人,当亲人。他开始有节制的疏远我,再后来他开始谈女朋友了。我听了后,心里很难过,虽然我知道我们不可能,我也希望他能找到真正的幸福(电影<霸王别姬>很好的诠释了这种感情)。可我依然很痛苦。从那时起,我知道了什么叫心疼,以前没有这种感受,但当时,你会发现你的心真的就有一种针扎在上面的疼。我向领导申请调换了科室,这样不用每天面对他。那时我的身体也开始逐渐跨掉了,开始整夜整夜的睡不着觉,当时我也想到自杀,可我想想年岁那么大的父母,我迈不出这一步,我死了我想他们也得哭死。如果世界上没有他们,就我一个人。不用考虑家人亲人,我觉得我对这个世界也没什么留恋的。后来我的身体连我的工作也维持不下去了,我请了病假,回家休养了3个月,在家里每天面对父母也痛苦,因为我不能跟他们说具体的原因,失眠最严重的时候,我4天4夜都睡不着觉,电视都不能看,不是度日如年,是度分如年,简直是生不如死(邪淫的果报,地狱的果报)每天呆呆傻傻的,连送我到精神病医院检查我都知道。我当时就差那么一点,精神就完全崩溃了,我是清清楚楚的,可我控制不住,不是你想控制就能控制的。身体好些了,看着父母天天焦急的眼神,我想我也不能在家里长呆,病休3个月后我回到了单位,单位分配的房子我和他是楼上楼下,每天不见面是不可能的。我的情况他也听说了,可他也不知道怎么样能让我好起来。他从来不带他的女朋友来见我,即使实在躲不过去,他在我面前和他的女朋友从来不做亲昵的动作和说亲昵的话语(要知道当时他们正在热恋)。如果同一天我和他女朋友同时约他,他都会先陪我一段时间,再去看他的女朋友。可能我当时精神状态太差了,他也怕我走上绝路。不仅是他,身边的朋友,领导,同事都以为我出什么事了,怎么一下就变成一个目光呆滞,反映迟钝,面色灰暗的人,可我只有把这一切都放在心里,不能和任何人提起。再后来,我知道这样不是长久办法。2个月后,我辞掉了工作,把房子也卖掉了,我逃离了他。离开了他以后,那是2000年,我才开始上网,也见了一些网友,才真正开始接触同志这个圈子,才发现原来和我一样,生活在社会阴暗地方的还有很多人。可没多久就发现,同性朋友这个圈子更乱,大家很难讲真话,只为一时的发泄,一时痛快的事情居多,其实这也不能都怪大家,大家在这个社会里比常人更压抑,压力更大,生活太痛苦了。幸亏后来遇到一个善知识,了解了我的情况,叫我学习佛法,说不仅这一件事情能解决好,其它的事情都能解决好。
又是6年过去了,通过自己学习佛法,我现在已经基本能伏住淫欲这个烦恼习气了。更可喜的是,我的相貌,体形,说话都发生了变化,已经是一个堂堂正正的男子汉了。有一个贤惠美丽大方的女朋友,外出也不会再关注同性朋友关注的事了,其中的体会只能亲自经历才能说的清楚,正如:'如人饮水,冷暖自知'。现在正过着一个常人快乐的生活,我对修学佛法也越来越有信心。